SEMARANG - Jaksa penuntut umum (JPU) membongkar jaringan pelobian dan perundingan rumit yang melibatkan terdakwa mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten, Jaka Sawaldi, dalam kasus korupsi pengelolaan Plaza Klaten. Pengungkapan ini terjadi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang kemarin, Kamis (4/11/2025), membuka tabir praktik yang merugikan negara hingga miliaran rupiah.
Kasus ini tak hanya menjerat Jaka Sawaldi, tetapi juga penerusnya, Jajang Prihono, yang juga mantan Sekda Klaten. Keduanya didakwa menerima aliran dana dari Komisaris PT Matahari Makmur Sejahtera (MMS), Jap Ferry Sanjaya. Perusahaan Ferry inilah yang diduga menguasai Plaza Klaten tanpa melalui proses lelang yang semestinya, menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 6, 8 miliar.
Tak berhenti di situ, kasus ini turut menyeret Didik Sudiarto, Kepala Bidang Pengelola Pasar di Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan (DKUKMP) Klaten. Keempatnya kini duduk di kursi pesakitan, menghadapi dakwaan yang memberatkan.
Dalam sidang perdana yang berlangsung kemarin, Jaka dan Jajang tampak khidmat mendengarkan uraian dakwaan yang dibacakan jaksa. Jaksa Rudy membacakan detail mengenai perbuatan memperkaya diri yang dilakukan terdakwa Ferry sebesar Rp 6, 5 miliar, Didik Sudiarto sebesar Rp 62, 5 juta, dan Jaka Sawaldi sebesar Rp 311 juta, yang secara kumulatif merugikan keuangan Negara Cq Pemda Klaten sebesar Rp 6, 8 miliar.
Jaksa merinci bahwa benih kasus ini bermula pada Januari 2020, ketika Ferry mengajukan penawaran untuk mengelola Plaza Klaten. Ironisnya, pengajuan ini dilakukan sebelum Pemerintah Kabupaten Klaten menggelar proses lelang sebagaimana diatur dalam Permendagri 19/2016.
Ferry disebut-sebut mendapatkan lampu hijau lisan dari Kepala DKUKMP saat itu, Bambang, yang sayangnya, telah meninggal dunia sebelum sempat diadili dalam kasus ini. "Secara lisan Bambang menyetujui terdakwa mulai mengelola Plaza Klaten, kemudian terdakwa minta sebagian lokasi Plaza Klaten untuk kantor, " ujar jaksa.
Bak gayung bersambut, Ferry langsung diberikan dua kios untuk dijadikan kantor PT Matahari Makmur Sejahtera, perusahaan yang baru saja didirikan pada tahun yang sama. "Padahal, Pemkab Klaten belum melakukan pelelangan terbuka untuk pemilihan mitra, " tegas jaksa.
Jejak pelobian semakin jelas terlihat ketika Ferry dilaporkan bertemu dengan Jaka Sawaldi di ruang kerja Sekda. Pertemuan ini secara spesifik membahas penawaran pengelolaan Plaza Klaten yang diajukan Ferry. Tak hanya di ruang resmi, pertemuan-pertemuan lanjutan, termasuk yang digelar di sejumlah restoran di Klaten, ternyata juga dibiayai langsung oleh Ferry.
Memasuki awal tahun 2021, saat Supriyanta menjabat sebagai Plt Kepala Dinas DKUKMP, sebuah pertemuan kembali digelar di Rumah Makan Banyoe Oerip Resto Klaten. Acara tersebut dihadiri pejabat Pemkab Klaten, termasuk Jaka Sawaldi, Supriyanta, Didik Sudiarto, dan Joko Purnomo. Kembali, Ferry menyediakan fasilitas makan dan segala keperluan pertemuan itu.
Di sisi lain, Ferry mengajukan penawaran nilai sewa yang jauh di bawah taksiran resmi dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). KJPP menetapkan nilai sewa Plaza Klaten sebesar Rp 4, 06 miliar per tahun, sebuah angka yang kontras dengan tawaran Ferry.
Puncak dari serangkaian pertemuan terjadi pada medio Juni 2021. Jaka Sawaldi menggelar pertemuan di Rumah Makan Merapi Resto pada pukul 20.00 WIB. Hadir dalam pertemuan tersebut Ferry, Didik Sudiarto, Jajang Prihono (saat itu masih menjabat sebagai Inspektur), Sri Rahayu dari Bagian Hukum, Himawan Purnomo selaku Kepala BPKD, serta Supriyanta, Plt Kepala Dinas DKUKMP. Agenda utama: membahas penawaran Ferry terkait pengelolaan Plaza Klaten. "Dalam pertemuan tersebut terdakwa Ferry memberikan fasilitas makan malam dan uang kepada pejabat Pemkab Klaten yang hadir, " ungkap jaksa.
Meskipun permohonan Ferry belum mendapat persetujuan Bupati dan belum ada ikatan perjanjian resmi dengan Pemkab Klaten, Ferry nekat memungut uang sewa. Selama periode 2020-2021, Ferry berhasil mengumpulkan uang sewa dari berbagai tenant Plaza Klaten, termasuk Rp 3 miliar dari PT Matahari Department Store ditambah service charge Rp 1, 3 miliar, Rp 802 juta dari PT Matahari Putra Prima, serta Rp 423 juta dari PT Matahari Graha Fantasi ditambah service charge Rp 541 juta. Seluruhnya masuk ke rekening PT Matahari Makmur Sejahtera.
Didik dan Ferry kemudian merekayasa surat tagihan dan bukti setoran. Didik bertugas membuat tagihan sewa kepada para tenant, namun surat tagihan dan setoran justru diserahkan kepada Ferry. "Kemudian terdakwa Ferry yang membayar ke kas umum Daerah Kabupaten Klaten yang jumlahnya lebih kecil dari uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry, " tutur jaksa.
Sisa uang sewa yang tak disetorkan itu mengalir untuk kepentingan pribadi Ferry, membiayai pertemuan dengan pejabat Pemkab, dan dibagikan kepada Didik, Jaka Sawaldi, serta Jajang Prihono. Pejabat yang hadir dalam pertemuan pun turut kecipratan. "Padahal seharusnya seluruh uang sewa menjadi pendapatan daerah dan wajib disetor ke kas daerah Pemkab Klaten, " tegas jaksa.
Memasuki November, pertemuan kembali digelar antara Ferry, Jaka Sawaldi, Jajang Prihono, dan sejumlah pejabat Pemkab. Namun, penawaran Ferry belum juga disetujui. Di sinilah peran Jaka dan Didik menjadi krusial; mereka merekayasa ajuan agar permohonan Ferry disetujui Bupati. "Penawaran Ferry tersebut belum dapat disetujui, kemudian Jaka selaku Sekda Klaten dan selaku Pengelola BMD, bersama Didik merekayasa dengan membuat ajuan kepada Bupati untuk menyetujui permohonan yang diajukan Ferry, " ungkapnya.
Akhirnya, Bupati merestui usulan tersebut. Didik menyiapkan draf perjanjian kerja sama sewa Plaza Klaten antara Pemda (diwakili Jaka sebagai Sekda) dan Ferry atas nama PT MMS. Ini terjadi tanpa proses lelang dan nilai sewa jauh di bawah taksiran resmi KJPP.
Praktik ilegal ini terus berlanjut dengan bantuan para terdakwa, bahkan tanpa adanya kesepakatan resmi. Pertemuan demi pertemuan terus digelar untuk membahas penawaran Ferry dengan para pejabat Pemkab. "Tahun 2020-2022 total uang sewa yang dipungut terdakwa Ferry secara tanpa hak seluruhnya Rp 7, 9 miliar sedangkan yang disetor ke kas daerah Pemda Klaten hanya Rp 2, 9 miliar. Selebihnya sebesar Rp 5 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa Ferry, dan keperluan pertemuan, dan dibagikan kepada pejabat Pemda Klaten, " ungkap jaksa.
Memasuki tahun 2023, tongkat estafet jabatan Sekda berpindah ke Jajang Prihono. Pada awal Januari 2023, Jajang bertemu Ferry, yang berujung pada penandatanganan perjanjian sewa Plaza Klaten pada 11 Januari 2023. Lagi-lagi, perjanjian ini dilakukan tanpa persetujuan Bupati dan tanpa proses lelang terbuka.
Pasca penandatanganan perjanjian tanpa lelang, Ferry kembali memungut uang sewa Plaza Klaten sebesar Rp 3, 1 miliar, namun hanya Rp 1, 3 miliar yang disetorkan ke kas Pemda Klaten.
Dalam dakwaan jaksa, aliran dana terbesar mengarah kepada Jaka Sawaldi, yang disebut menerima ratusan juta rupiah dari Ferry secara bertahap seiring pembahasan pengelolaan Plaza Klaten. Jajang dan Didik pun tak luput dari menerima aliran dana dari Ferry dalam rangkaian pembahasan ini. "Jaka Sawaldi selaku Sekda Rp 311 juta, Didik Sudiarto Kabid Pasar selaku Rp 62, 5 juta, Jajang Prihono Rp 1 juta, " ucap jaksa.
Tak hanya para terdakwa, beberapa pejabat lain juga disebut menerima aliran dana sebesar Rp 1 juta, termasuk Supriyanta, Sri Winoto, Fadjar Indriawan, Sri Rahayu, Tajudin Akbar, Himawan Purnomo, dan Sunarna.
Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 6, 88 miliar. Jaka Sawaldi, Jajang Prihono, dan Didik Sudiarto, bersama Jap Ferry Sanjaya, dijerat dengan pasal yang sama: Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut. (PERS)

Updates.